Kamis, 13 Januari 2011

EUFORIA : buat Neni Maryani

bulan mengerucutkan cahayanya pada keningmu Ibu,

terhampar
pada setiap dua salam di atahiat terakhir,


meyebutkan
namamu pada setiap bulir bulir
dzikir


aku begitu tergagap Ibu

angin telah lebih dahulu sampai,

sedang
waktu
kehabisan jarak


serta merta melupakan bening matamu yang berkaca..


menuntun maaf pada benturan terakhirnya.


aku
tertahan di utara Bandung,
bersama Selasa yang terbenam


bukan puisi maaf dan terima kasih yang pertama

aku ternyata membutuhkan waktu yang panjang


untuk membuat simpul senyummu..

aku hanya ingin mencintai
dan membahagiakanmu

seperti matahari.

yang tak pernah beralasan untuk terbit.


23.46
kdk yang tertunduk

Senin, 10 Januari 2011

Perenungan hari Ibu


Andai, aku tlah dewasa apa yang kan ku katakan untukmu idolaku, tersayang :  AYAH
Andai, usiaku berubah kubalas cintamu BUNDA pelitaku penerang jiwaku dalam setiap waktu.

Iya, itu lirik yang sangat mengena dalam setiap kehidupan kita.
IBU bukan sebuah nama biasa yang pantas kita ucapkan dengan intonasi yang biasa, jika perlu harus ada tata cara khusus dalam mengucap pelafalan IBU. Saking agungnya arti dibalik fonem itu.
Bukan wanita yang tidak kita kenal yang disapa Ibu. IBU itu alasan kenapa kita lahir. Selama sembilan bulan ia mengandung kita, membawa kita kemanapun, seolah kita ini tanpa beban.  IBU membawa kita seolah ia yakin bahwa ini akan jadi anak kebanggaannya. Padahal apa? Kita hanya bisa membuat seorang IBU meneteskan air matanya karena perbuatan kita, keyakinan IBU salah, calon anak yang dikandungnya dulu, ternyata hanya bisa membebaninya bukan membuatnya bangga.
 harusnya kakinya kita cium, karena surga itu ada di kakinya!!! Sekarang, bahkan mencium tangannya pun kita malu! Bahkan terkadang mendoakan mereka sehabis shalat pun kita LUPA.
Jangankan mengucapkan kata “ah” kepada IBU kita, bahkan memakinya pun kita sering! hanya karena alasan sepele yang tidak masuk akal. Selama ini kita telah salah menilai IBU. Kita anggap IBU monster pengekang kebebasan kita, kita pandang IBU sebagai seorang wanita renta yang cerewet, tukang ngatur, kolot, dan suka marah marah.
Jika kita terlambat pulang ke rumah, selalu ada seseorang yang jauh di sana mengkhawatirkan keberadaan kita. Dengan mata yang sudah tidak bisa melihat lagi secara sempurna tanpa bantuan kaca mata, seseorang disana mencoba mencari tahu kabar kita dengan memencet rangkaikan angka di handponenya secara terbata, karena angkanya terlaku kecil untuk dibaca. Dengan nada marah, ketika nada tunggu sudah tak terdengar lagi ia berkata “dimana neng?? Kok belum pulang, jangan main mulu. Cepet pulang” selalu seperti itu. Dan selalu kita akhiri dengan muka masam dan kekesalan yang tergambar jelas di raut wajah kita, karena kita merasa berakhir sudah moment tertawa-tawa bersama teman atau bahkan pacar kita ketika seseorang itu menelefon.
Siapa yang menelefon itu? IBU.
Sampai di rumah, sederetan wejangan darinya kita anggap angin lalu. Padahal itu pedoman hidup, penunjuk jalan ke arah benar. Kita malah dengan acuh, masuk ke kamar seolah yang membukakan pintu tadi seorang pembantu.
IBU selalu bangun paling pagi, selalu menyempatkan membuat nasi goreng sekedar untuk sarapan. keringatnya selalu menetes paling pertama di rumah, bukannya kita membantunya seperti bagaimana seharusnya malah kita pergi tanpa menyentuh nasi gorengnya sebagai tanda marah karena kemarin kita tidak diizinkan pergi ke pesta ulang tahun teman.
Itu IBU. Yang kornea matanya selalu membesar ketika kita membuat kesalahan. Yang kita lakukan hanya menangis dan menganggap IBU wanita jahat yang tidak pernah sayang pada kita.
IBU yang tak pernah kehabisan kata kata untuk menasehati kita.
IBU yang kini umurnya sudah tak lagi muda berbanding terbalik dengan kelakuan kita yang hingga kini belum dewasa
IBU yang sekarang, kulitnya sudah tak sekencang dulu, sorot matanya sayu, rambut yang memutih bukti nyata perjuangan IBU dalam membesarkan anak-anaknya.
Sudahkah kita menyadarinya?? Yang tadi kita telefon, yang tadi kita kirimi kata-kata puitis, yang tadi kita kirimi bunga, yang tadi kita cium pipinya,  Itu IBU kita!!!
Kenapa hanya setiap 22 Desember kita ucapkan “maaf” ,“terima kasih” dan “sayang” kepada IBU kita. Dan setelah hari ini semua yang kita ucapkan kemarin itu omong kosong belaka??Andai hari IBU itu setip hari, mungkin para IBU akan sangat bahagia.
Datangi kembali IBU dan AYAH kawan, cium tangannya, cium keningnya, katakan maaf, ucapkan terima kasih, bilang kita sayang dan ini akan berlangsung setiap hari bukan hanya pada 22 Desember, berjanjlah pada diri sendiri kita akan melaksanan kewajiban besar seorang anak : membahagiakan kedua orang tua.  
Kepada kawan yang tidak memungkinkan untuk kembali bertemu IBU atau AYAH, segera berwudhu kawan, doakan mereka. Terangi tempat mereka berada sekarang dengan doa kalian. Doa yang selama ini mereka nanti-nantikan.
Kita berjuang bersama kawan, mewujudkan keinginan mereka meskipun tidak mudah.
Yang masih sekolah, buktikan dengan prestasi kalian!!
Yang kuliah, ayoo kita(termasuk saya sendiri.hhheehe) lulus dengan IPK besar,bertitel cum laude, dan segera bekerja, buat orang tua kita bahagia dengan keringat kita sendiri!!!yeehaa

**dua orang yang paling saya cintai:

H. SURYANA SUHARDIMAN & Hj. NENI MARYANI, S. Pd.