bulan mengerucutkan cahayanya pada keningmu Ibu,
terhampar
pada setiap dua salam di atahiat terakhir,
meyebutkan
namamu pada setiap bulir bulir
dzikir
aku begitu tergagap Ibu
angin telah lebih dahulu sampai,
sedang
waktu
kehabisan jarak
serta merta melupakan bening matamu yang berkaca..
menuntun maaf pada benturan terakhirnya.
aku
tertahan di utara Bandung,
bersama Selasa yang terbenam
bukan puisi maaf dan terima kasih yang pertama
aku ternyata membutuhkan waktu yang panjang
untuk membuat simpul senyummu..
aku hanya ingin mencintai
dan membahagiakanmu
seperti matahari.
yang tak pernah beralasan untuk terbit.
23.46
kdk yang tertunduk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar