Jumat, 18 Maret 2011

Kenang Kenangan

KENANG-KENANGAN

Bagaimana harus kuucapkan pengakuan ini:
Aku jatuh cinta
berulangkali pada matamu,

danau dalam hutan di negeri ajaib
yang jauh menyelusup dalam ingatan itu. Berabad-abad
...yang lalu, kuucapkan selamat tinggal pada apa pun
yang berbau dongeng, atau masa silam. Tetapi cinta,
bukan sebotol coca cola.


Atau film Disney;
si sana tokoh apa pun tak pernah mati. Juga bukan Rumi
yang menari. Sebab pada matamu bertemu semua musim,
sejarah, dan sesuatu yang mengingatkan aku
pada suatu hari ketika waktu berhenti, dan kusapa engkau

mesra sekali. Kini, bahkan wajahmu samar kuingat
kembali.

Haruskah kuucapkan pengakuan ini:
Aku jatuh cinta
berulangkali pada matamu,

danau dalam hutan di negeri ajaib
yang jauh menyelusup dalam ingatan itu. Tetapi cinta,
bukan sekotak popok kertas. Atau sayap
sembilan puluh sembilan burung Attar yang terbakar. Cinta,

barangkali, kegagapanku mengecup sepasang alismu

1994

Rabu, 16 Maret 2011

Kisahku-Kahlil Gibran

Dengarkan kisahku… .
Dengarkan,
tetapi jangan menaruh belas kasihan padaku:
kerana belas kasihan menyebabkan kelemahan, padahal aku masih tegar dalam penderitaanku..
Jika kita mencintai,
cinta kita bukan dari diri kita, juga bukan untuk diri kita.
Jika kita bergembira,
kegembiraan kita bukan berada dalam diri kita, tapi dalam Hidup itu sendiri.
Jika kita menderita,
kesakitan kita tidak terletak pada luka kita, tapi dalam hati nurani alam.
Jangan kau anggap bahwa cinta itu datang kerana pergaulan yang lama atau rayuan yang terus menerus.
Cinta adalah tunas pesona jiwa,
dan jika tunas ini tak tercipta dalam sesaat,
ia takkan tercipta bertahun-tahun atau bahkan dari generasi ke generasi.
Wanita yang menghiasi tingkah lakunya dengan keindahan jiwa dan raga adalah sebuah kebenaran,
yang terbuka namun rahsia;
ia hanya dapat difahami melalui cinta,
hanya dapat disentuh dengan kebaikan;
dan ketika kita mencoba untuk menggambarkannya ia menghilang bagai segumpal uap.

~Khalil Gibran~

Perempuan Indonesia Bangkit Melawan Penindasan

Tentang Perempuan: Dekat dan Melekat*
oleh: Vina Fatimah Agustina[1]
Isna Istiana[2]

A. Sejarah Penindasan Perempuan
Peradaban mutlak adanya dalam sebuah kehidupan, manusia di bumi tidak serta merta langsung berbentuk peradaban maju. Fase peradaban manusia sejalan dengan sejarah perkembangan masyarakat yang pernah terjadi di bumi ini. Sebelum muncul peradaban yang saat ini sesuai dengan perkembangan masyarakat yang juga terjadi saat ini. Sebelumnya dilalui oleh berbagai fase perkembangan masyarakat, yaitu :
1. Jaman Komunal Primitif
Pada jaman ini kehidupan manusia masih bersifat kolektif, dimana pembagian
tugas belum mengenal pemisahan berdasarkan gender (jenis kelamin)
pembagian tugas baru berdasarkan fungsi saja. Laki laki dan perempuan mendapat bagian tugas yang sama. Jaman komunal primitif belum ditemukan teknologi mereka masih mengunakan dengan langsung apa yang mereka didapat dari alam, batu, kayu, dan bekas tulang-tulang binatang. Belum lagi alam yang mereka hadapi saat itu, yang masih ganas dan liar, dimana bahan makan belum banyak tersedia. Sehingga jika mereka yang lemah dan tak dapat ikut berburu harus diberi makan, itu artinya mereka harus menambah beban mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka dan dirinya. Maka tak heran tingkat kematian begitu tinggi pada jaman ini.
2. Jaman Perbudakan
Pada zaman ini telah muncul spesialisasi pada masyarakat, mulai adanya tekhnologi, pemikiran manusia mulai berkembang. Mereka-mereka yang memiliki keahlian khusus dalam membuat alat, mulai meninggalkan pertanian. Namun mereka yang tidak memiliki keahlian atau alat khusus, tersudut pada posisi hamba. Dari sanalah jaman perbudakan muncul, posisi kaum perempuan mulai bergeser, dari yangtadinya ikut berperan secara ekonomi dan politik. Peran perempuan sedikit demi sedikit mulai bergeser menjadi pekerja domestik /mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Juga muncul anggapan bahwa budak perempuan labih murah harganya dibanding budak laki-laki.
3. Jaman Feodal
Dijaman feodal ini posisi perempuan benar-benar tergeser dan masuk kedalam lembah pekerjaan domestic. Dijaman ini pulalah garis keturunan berubah jadi mengikuti bapak. Jaman ini juga disebut jaman patriakal, dimana dominasi laki-laki terhadap perempuan menjadi penuh. Budaya patriarki pada masyarakat yang akhir berdampak pada munculnya ketidak adilan gender.
4. Jaman Industri
Jaman feodal tumbang akibat berlangsungnya pemberontakan kaum buruh tani, yang ditunggangi oleh kaum pedagang. Namun perubahan ini tetap tidak dapat
membebaskan peran perempuan, dimana para pengusaha masih melestarikan
budaya feudal yang berlaku terhadap kaum perempuan. Diskriminai terhadap kaum perempuan semakin nyata, walaupun mereka menghargai persamaan hak namun diskriminasi berdasarkan gender masih berlangsung. Upah pekerja perempuan lebih murah, hak cuti hamil tidak diberikan, pekerjaan domestic masih menjadi lahan perempuan.
B. Kondisi Penindasan Perempuan di Negara Setengah Jajahan Setengah Feodal
Penindasan terhadap kaum perempuan tidak terjadi secara “alamiah”. Tetapi, karena sistem yang ada menginginkan hal ini terjadi. Dalam perkembangan masyarakat sebelumnya, kecuali pada masyarakat komunal primitif, peran seorang perempuan selalu dikaitkan dengan keluarga yang ia miliki dan seorang laki-laki sebagai “kepala” rumah tangganya. Dalam masyarakat seperti ini, keluarga memainkan peranan penting untuk mengatur pembagian kelas, memastikan bahwa kekayaan tidak ada bagi kemakmuran mereka dan memiskinkan kemanusiaannya.
Penindasan kaum perempuan mempunyai akar sejarah yang panjang. Sistem produksi kapitalis yang menyandarkan peran kaum modal dan memposisikan kaum perempuan sebagai pihak yang paling ditindas, adalah basis persoalannya. Jadi, penindasan itu bukan berasal dari kategorisasi seksual laki-perempuan. Kategori biologis hanya dijadikan alat legitimasi untuk mengeksploitasi kaum perempuan secara ekonomi, memberi upah rendah dan diskriminasi sosial sebagai upaya menekan biaya produksi kaum pemodal itu. Manusia perempuan (dan laki-laki) sudah berjuang lebih dari 100 tahun yang lalu untuk kesetaraan dan keadilan. Hasilnya, seperti yang sudah kita nikmati sekarang: perempuan memiliki hak pilih, dapat bekerja, beraktivitas di luar rumah, sekolah, diakui hak atas tubuh dan seksualitasnya, mendapatkan berbagai perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, dll. Namun kenyataannya, sebagian besar hak-hak tersebut tak bisa didapatkan oleh semua perempuan di bawah sistem ekonomi dan politik yang mengabdi pada kepentingan para pemilik modal. Peradaban terus terjadi, tapi posisi perempuan tidak menjadi lebih baik, persamaan hak walau sudah didapat tapi masih terus diperdebatkan. Pelecehan terhadap perempuan masih tinggi, pandangan terhadap perempuan masih sebatas pandangan sebagai obyek seksual laki-laki.
Pengiriman dan keberadaan PRT TKW mestinya tidak hanya dipandang negatif semata. Di saat banyak perempuan sibuk berbelanja di berbagai pusat perbelanjaan, ratusan perempuan Indonesia terkatung-katung nasibnya di kolong jembatan Khandara, Arab Saudi. Kemiskinan di negeri sendiri membuat mereka terpaksa berangkat ke negeri orang lain berharap mendapat pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Secara faktual keberadaan PRT TKW di luar negeri telah menyumbang devisa kepada negara yang sangat besar dan sangat menolong perekonomian ribuan keluarganya di Indonesia dari jerat kemiskinan yang hingga kini belum bisa ditangani secara serius oleh pemerintah. Pun ketika ada wacana tentang pemberhentian pengiriman TKW, adalah usulan yang yang tidak rasional dan dangkal, manakala pemerintah hingga saat ini tidak mampu membuka dan menyediakan lapangan kerja kepada mayoritas rakyatnya secara signifikan. Pemerintah mestinya paham jika pengiriman TKW PRT dengan tiba-tiba di stop tanpa ada langkah antisipatif dan bersifat nyata dari pemerintah dengan menyediakan lapangan kerja pasti angka pengangguran dan gelombang kemiskinan terus bertambah besar.
Perempuan mengalami penindasan yang berlapis, selain budaya patriarki dan kondisi keberadaan perempuan di tengah negara setengah jajahan setengah feodal juga mengalami persoalan rakyat secara keseluruhan. Contohnya saja, keterwakilan perempuan pada Pemilu legislatif tahun 2004 baru 11,6 persen atau hanya meningkat 2 persen dari Pemilu 1999 lalu dan pada pemilu 2009 kemarin kuota perempuan dalam parlemen hanya sebesar 30 persen itupun telah diperkuat dengan adanya UU No.12/2003 tentang Pemilu, ternyata belum membuahkan hasil yang signifikan karena aktivispolitik masih sering diidentikkan dengan domainnya laki-laki. Ini membuktikan peluang perempuan bidang politik hingga kini belum mampu diakomodir partai politik.
Prosentase 30 persen itu dirasa belum mewakili aspirasi perempuan saat ini. guna mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia harus meningkatkan kualitas hidup perempuan, memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan politik, menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, meningkatkan kesejahteraan anak dan perempuan. Adanya pelabelan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan laki-laki adalah yang kuat dan berkuasa sehingga kerapkali mereka dijadikan objek kekerasan. Jadi dalam untuk melawan penindasan pada perempuan tidak hanya dilakukan melalui proses perberdayaan saja, perlu juga diimbangi adanya semangat juang untuk melawan kapatalisme global.












*disampaikan pada diskusi Selasaan UKSK UPI, 1 Maret 2011 di PKM UPI
[1] perempuan INdonesia, penerus Kartini yang masa kini.
[2] perempuan Indonesia, yang melankolis tapi tegar.





ini bukan curhat

Aku rela Tuhan menghapus ingatan tentangmu,

sekalipun itu kenangan yang pernah membuat hatiku berdebar bahagia.

Aku rela melupakan bahwa kita pernah saling mencinta.

Biarkan aku membutakan ingatan tentang kita, agar tak menagih janji

yang tak pernah kau tepati

Biarkan aku menjadi seseorang yang tak pernah lagi mengenalmu.

bahkan jika suatu saat orang-orang memujamu,
aku memilih menjadi orang kampungan yang tak pernah tahu tentangmu

katanya, masa lalu adlah pelajaran berharga tapi biarkan aku menganggapmasa lalu denganmu adalah mimpi semu tak pernah berharga.

kau dan aku adalah kita yang lesap dan lenyap.

Kamis, 13 Januari 2011

EUFORIA : buat Neni Maryani

bulan mengerucutkan cahayanya pada keningmu Ibu,

terhampar
pada setiap dua salam di atahiat terakhir,


meyebutkan
namamu pada setiap bulir bulir
dzikir


aku begitu tergagap Ibu

angin telah lebih dahulu sampai,

sedang
waktu
kehabisan jarak


serta merta melupakan bening matamu yang berkaca..


menuntun maaf pada benturan terakhirnya.


aku
tertahan di utara Bandung,
bersama Selasa yang terbenam


bukan puisi maaf dan terima kasih yang pertama

aku ternyata membutuhkan waktu yang panjang


untuk membuat simpul senyummu..

aku hanya ingin mencintai
dan membahagiakanmu

seperti matahari.

yang tak pernah beralasan untuk terbit.


23.46
kdk yang tertunduk

Senin, 10 Januari 2011

Perenungan hari Ibu


Andai, aku tlah dewasa apa yang kan ku katakan untukmu idolaku, tersayang :  AYAH
Andai, usiaku berubah kubalas cintamu BUNDA pelitaku penerang jiwaku dalam setiap waktu.

Iya, itu lirik yang sangat mengena dalam setiap kehidupan kita.
IBU bukan sebuah nama biasa yang pantas kita ucapkan dengan intonasi yang biasa, jika perlu harus ada tata cara khusus dalam mengucap pelafalan IBU. Saking agungnya arti dibalik fonem itu.
Bukan wanita yang tidak kita kenal yang disapa Ibu. IBU itu alasan kenapa kita lahir. Selama sembilan bulan ia mengandung kita, membawa kita kemanapun, seolah kita ini tanpa beban.  IBU membawa kita seolah ia yakin bahwa ini akan jadi anak kebanggaannya. Padahal apa? Kita hanya bisa membuat seorang IBU meneteskan air matanya karena perbuatan kita, keyakinan IBU salah, calon anak yang dikandungnya dulu, ternyata hanya bisa membebaninya bukan membuatnya bangga.
 harusnya kakinya kita cium, karena surga itu ada di kakinya!!! Sekarang, bahkan mencium tangannya pun kita malu! Bahkan terkadang mendoakan mereka sehabis shalat pun kita LUPA.
Jangankan mengucapkan kata “ah” kepada IBU kita, bahkan memakinya pun kita sering! hanya karena alasan sepele yang tidak masuk akal. Selama ini kita telah salah menilai IBU. Kita anggap IBU monster pengekang kebebasan kita, kita pandang IBU sebagai seorang wanita renta yang cerewet, tukang ngatur, kolot, dan suka marah marah.
Jika kita terlambat pulang ke rumah, selalu ada seseorang yang jauh di sana mengkhawatirkan keberadaan kita. Dengan mata yang sudah tidak bisa melihat lagi secara sempurna tanpa bantuan kaca mata, seseorang disana mencoba mencari tahu kabar kita dengan memencet rangkaikan angka di handponenya secara terbata, karena angkanya terlaku kecil untuk dibaca. Dengan nada marah, ketika nada tunggu sudah tak terdengar lagi ia berkata “dimana neng?? Kok belum pulang, jangan main mulu. Cepet pulang” selalu seperti itu. Dan selalu kita akhiri dengan muka masam dan kekesalan yang tergambar jelas di raut wajah kita, karena kita merasa berakhir sudah moment tertawa-tawa bersama teman atau bahkan pacar kita ketika seseorang itu menelefon.
Siapa yang menelefon itu? IBU.
Sampai di rumah, sederetan wejangan darinya kita anggap angin lalu. Padahal itu pedoman hidup, penunjuk jalan ke arah benar. Kita malah dengan acuh, masuk ke kamar seolah yang membukakan pintu tadi seorang pembantu.
IBU selalu bangun paling pagi, selalu menyempatkan membuat nasi goreng sekedar untuk sarapan. keringatnya selalu menetes paling pertama di rumah, bukannya kita membantunya seperti bagaimana seharusnya malah kita pergi tanpa menyentuh nasi gorengnya sebagai tanda marah karena kemarin kita tidak diizinkan pergi ke pesta ulang tahun teman.
Itu IBU. Yang kornea matanya selalu membesar ketika kita membuat kesalahan. Yang kita lakukan hanya menangis dan menganggap IBU wanita jahat yang tidak pernah sayang pada kita.
IBU yang tak pernah kehabisan kata kata untuk menasehati kita.
IBU yang kini umurnya sudah tak lagi muda berbanding terbalik dengan kelakuan kita yang hingga kini belum dewasa
IBU yang sekarang, kulitnya sudah tak sekencang dulu, sorot matanya sayu, rambut yang memutih bukti nyata perjuangan IBU dalam membesarkan anak-anaknya.
Sudahkah kita menyadarinya?? Yang tadi kita telefon, yang tadi kita kirimi kata-kata puitis, yang tadi kita kirimi bunga, yang tadi kita cium pipinya,  Itu IBU kita!!!
Kenapa hanya setiap 22 Desember kita ucapkan “maaf” ,“terima kasih” dan “sayang” kepada IBU kita. Dan setelah hari ini semua yang kita ucapkan kemarin itu omong kosong belaka??Andai hari IBU itu setip hari, mungkin para IBU akan sangat bahagia.
Datangi kembali IBU dan AYAH kawan, cium tangannya, cium keningnya, katakan maaf, ucapkan terima kasih, bilang kita sayang dan ini akan berlangsung setiap hari bukan hanya pada 22 Desember, berjanjlah pada diri sendiri kita akan melaksanan kewajiban besar seorang anak : membahagiakan kedua orang tua.  
Kepada kawan yang tidak memungkinkan untuk kembali bertemu IBU atau AYAH, segera berwudhu kawan, doakan mereka. Terangi tempat mereka berada sekarang dengan doa kalian. Doa yang selama ini mereka nanti-nantikan.
Kita berjuang bersama kawan, mewujudkan keinginan mereka meskipun tidak mudah.
Yang masih sekolah, buktikan dengan prestasi kalian!!
Yang kuliah, ayoo kita(termasuk saya sendiri.hhheehe) lulus dengan IPK besar,bertitel cum laude, dan segera bekerja, buat orang tua kita bahagia dengan keringat kita sendiri!!!yeehaa

**dua orang yang paling saya cintai:

H. SURYANA SUHARDIMAN & Hj. NENI MARYANI, S. Pd.