Rabu, 16 Maret 2011

Perempuan Indonesia Bangkit Melawan Penindasan

Tentang Perempuan: Dekat dan Melekat*
oleh: Vina Fatimah Agustina[1]
Isna Istiana[2]

A. Sejarah Penindasan Perempuan
Peradaban mutlak adanya dalam sebuah kehidupan, manusia di bumi tidak serta merta langsung berbentuk peradaban maju. Fase peradaban manusia sejalan dengan sejarah perkembangan masyarakat yang pernah terjadi di bumi ini. Sebelum muncul peradaban yang saat ini sesuai dengan perkembangan masyarakat yang juga terjadi saat ini. Sebelumnya dilalui oleh berbagai fase perkembangan masyarakat, yaitu :
1. Jaman Komunal Primitif
Pada jaman ini kehidupan manusia masih bersifat kolektif, dimana pembagian
tugas belum mengenal pemisahan berdasarkan gender (jenis kelamin)
pembagian tugas baru berdasarkan fungsi saja. Laki laki dan perempuan mendapat bagian tugas yang sama. Jaman komunal primitif belum ditemukan teknologi mereka masih mengunakan dengan langsung apa yang mereka didapat dari alam, batu, kayu, dan bekas tulang-tulang binatang. Belum lagi alam yang mereka hadapi saat itu, yang masih ganas dan liar, dimana bahan makan belum banyak tersedia. Sehingga jika mereka yang lemah dan tak dapat ikut berburu harus diberi makan, itu artinya mereka harus menambah beban mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka dan dirinya. Maka tak heran tingkat kematian begitu tinggi pada jaman ini.
2. Jaman Perbudakan
Pada zaman ini telah muncul spesialisasi pada masyarakat, mulai adanya tekhnologi, pemikiran manusia mulai berkembang. Mereka-mereka yang memiliki keahlian khusus dalam membuat alat, mulai meninggalkan pertanian. Namun mereka yang tidak memiliki keahlian atau alat khusus, tersudut pada posisi hamba. Dari sanalah jaman perbudakan muncul, posisi kaum perempuan mulai bergeser, dari yangtadinya ikut berperan secara ekonomi dan politik. Peran perempuan sedikit demi sedikit mulai bergeser menjadi pekerja domestik /mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Juga muncul anggapan bahwa budak perempuan labih murah harganya dibanding budak laki-laki.
3. Jaman Feodal
Dijaman feodal ini posisi perempuan benar-benar tergeser dan masuk kedalam lembah pekerjaan domestic. Dijaman ini pulalah garis keturunan berubah jadi mengikuti bapak. Jaman ini juga disebut jaman patriakal, dimana dominasi laki-laki terhadap perempuan menjadi penuh. Budaya patriarki pada masyarakat yang akhir berdampak pada munculnya ketidak adilan gender.
4. Jaman Industri
Jaman feodal tumbang akibat berlangsungnya pemberontakan kaum buruh tani, yang ditunggangi oleh kaum pedagang. Namun perubahan ini tetap tidak dapat
membebaskan peran perempuan, dimana para pengusaha masih melestarikan
budaya feudal yang berlaku terhadap kaum perempuan. Diskriminai terhadap kaum perempuan semakin nyata, walaupun mereka menghargai persamaan hak namun diskriminasi berdasarkan gender masih berlangsung. Upah pekerja perempuan lebih murah, hak cuti hamil tidak diberikan, pekerjaan domestic masih menjadi lahan perempuan.
B. Kondisi Penindasan Perempuan di Negara Setengah Jajahan Setengah Feodal
Penindasan terhadap kaum perempuan tidak terjadi secara “alamiah”. Tetapi, karena sistem yang ada menginginkan hal ini terjadi. Dalam perkembangan masyarakat sebelumnya, kecuali pada masyarakat komunal primitif, peran seorang perempuan selalu dikaitkan dengan keluarga yang ia miliki dan seorang laki-laki sebagai “kepala” rumah tangganya. Dalam masyarakat seperti ini, keluarga memainkan peranan penting untuk mengatur pembagian kelas, memastikan bahwa kekayaan tidak ada bagi kemakmuran mereka dan memiskinkan kemanusiaannya.
Penindasan kaum perempuan mempunyai akar sejarah yang panjang. Sistem produksi kapitalis yang menyandarkan peran kaum modal dan memposisikan kaum perempuan sebagai pihak yang paling ditindas, adalah basis persoalannya. Jadi, penindasan itu bukan berasal dari kategorisasi seksual laki-perempuan. Kategori biologis hanya dijadikan alat legitimasi untuk mengeksploitasi kaum perempuan secara ekonomi, memberi upah rendah dan diskriminasi sosial sebagai upaya menekan biaya produksi kaum pemodal itu. Manusia perempuan (dan laki-laki) sudah berjuang lebih dari 100 tahun yang lalu untuk kesetaraan dan keadilan. Hasilnya, seperti yang sudah kita nikmati sekarang: perempuan memiliki hak pilih, dapat bekerja, beraktivitas di luar rumah, sekolah, diakui hak atas tubuh dan seksualitasnya, mendapatkan berbagai perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, dll. Namun kenyataannya, sebagian besar hak-hak tersebut tak bisa didapatkan oleh semua perempuan di bawah sistem ekonomi dan politik yang mengabdi pada kepentingan para pemilik modal. Peradaban terus terjadi, tapi posisi perempuan tidak menjadi lebih baik, persamaan hak walau sudah didapat tapi masih terus diperdebatkan. Pelecehan terhadap perempuan masih tinggi, pandangan terhadap perempuan masih sebatas pandangan sebagai obyek seksual laki-laki.
Pengiriman dan keberadaan PRT TKW mestinya tidak hanya dipandang negatif semata. Di saat banyak perempuan sibuk berbelanja di berbagai pusat perbelanjaan, ratusan perempuan Indonesia terkatung-katung nasibnya di kolong jembatan Khandara, Arab Saudi. Kemiskinan di negeri sendiri membuat mereka terpaksa berangkat ke negeri orang lain berharap mendapat pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Secara faktual keberadaan PRT TKW di luar negeri telah menyumbang devisa kepada negara yang sangat besar dan sangat menolong perekonomian ribuan keluarganya di Indonesia dari jerat kemiskinan yang hingga kini belum bisa ditangani secara serius oleh pemerintah. Pun ketika ada wacana tentang pemberhentian pengiriman TKW, adalah usulan yang yang tidak rasional dan dangkal, manakala pemerintah hingga saat ini tidak mampu membuka dan menyediakan lapangan kerja kepada mayoritas rakyatnya secara signifikan. Pemerintah mestinya paham jika pengiriman TKW PRT dengan tiba-tiba di stop tanpa ada langkah antisipatif dan bersifat nyata dari pemerintah dengan menyediakan lapangan kerja pasti angka pengangguran dan gelombang kemiskinan terus bertambah besar.
Perempuan mengalami penindasan yang berlapis, selain budaya patriarki dan kondisi keberadaan perempuan di tengah negara setengah jajahan setengah feodal juga mengalami persoalan rakyat secara keseluruhan. Contohnya saja, keterwakilan perempuan pada Pemilu legislatif tahun 2004 baru 11,6 persen atau hanya meningkat 2 persen dari Pemilu 1999 lalu dan pada pemilu 2009 kemarin kuota perempuan dalam parlemen hanya sebesar 30 persen itupun telah diperkuat dengan adanya UU No.12/2003 tentang Pemilu, ternyata belum membuahkan hasil yang signifikan karena aktivispolitik masih sering diidentikkan dengan domainnya laki-laki. Ini membuktikan peluang perempuan bidang politik hingga kini belum mampu diakomodir partai politik.
Prosentase 30 persen itu dirasa belum mewakili aspirasi perempuan saat ini. guna mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia harus meningkatkan kualitas hidup perempuan, memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan politik, menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, meningkatkan kesejahteraan anak dan perempuan. Adanya pelabelan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan laki-laki adalah yang kuat dan berkuasa sehingga kerapkali mereka dijadikan objek kekerasan. Jadi dalam untuk melawan penindasan pada perempuan tidak hanya dilakukan melalui proses perberdayaan saja, perlu juga diimbangi adanya semangat juang untuk melawan kapatalisme global.












*disampaikan pada diskusi Selasaan UKSK UPI, 1 Maret 2011 di PKM UPI
[1] perempuan INdonesia, penerus Kartini yang masa kini.
[2] perempuan Indonesia, yang melankolis tapi tegar.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar